Masih menjadi misteri perihal sebuah kisah, Bagaimana Orang Ahli kitab
sanggup memindahkan kursi Ratu Bilqis sebagaimana yang tertulis didalam Alquran
?
Berkata Sulaiman : “ Hai pembesar-pembesar, siapakah diantara kamu
sekaliyan yang sanggup membawa
singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang
berserah diri “ Berkata Ifrid (yang cerdik) dari golongan Jin : “ Aku akan datang
kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat dudukmu , sebenarnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat di
percaya “. Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Al kitab “ Aku akan
membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman
melihat Singgasana itu terletak di hadapannya ia pun berkata : “ Ini termasuk
kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat
Nya)” (QS. Surat An Naml (27) 38-40)
Menimbulkan tanda tanya besar dan
spekulasi tersendiri bagi kalangan umat Islam. Apakah ilmu tersebut hanya
dongengan saja ?. Ataukah ilmu tersebut masih bertahan hingga kini.
Al qur an pasti tidak mungkin
memberitakan , jikalau hanya sekedar sebuah dongengan pengantar tidur saja.
Pasti ada rahasia yang sangat besar di balik pengungkapan berita tersebut.
Apapun yang diberitakan Al qur an adalah sebuah kepastian, hukum
sunatulloh, yang berlaku dari dahulu, kini, hingga nanti. Meliputi
seluruh peradaban manusia dan alam semesta. Jadi logikanya ilmu tersebut
pasti masih ada dalam kesadaran umat manusia hingga kini.
Namun siapa yang memiliki ilmu
tersebut ?. Dan sebenarnya rahasia apa (hikmah) yang diajarkan Allah
kepada orang tersebut. Apakah yang di maksud dengan hikmah dari
kitab-kitab-Nya ?. Sehingga (ketika) seseorang telah mampu memahami
hikmah dari kitab-kitab-Nya, orang tersebut akan memiliki kemampuan luar biasa.
Bagaimanakah cara menyingkapkannya.
Banyak sekali kajian yang mencoba
mengungkapkannya, dengan segala wahana yang di tawarkan. Kajian ini mencoba
memberikan pembanding bagi kajian-kajian lainnya. Memberikan alternatif
pemikiran. Bagaimana seharusnya kita menyikapi berita (kisah) Al qur an
tersebut ?.
Mengkaji Ilmu Laduni
Banyak sudah kajian yang membahas
perihal Ilmu Laduni ini. Ada sebagian orang yang menghubungkan ilmu ini dengan
kekuatan ghaib, karomah, kesaktian dan lain sebagainya. Ada lagi yang percaya
bahwa orang yang memiliki ilmu ini akan memiliki kemampuan membuka
berita-berita ghaib. Sehingga orang yang memiliki ilmu ini akan mampu meramalkan
kejadian yang bakalan terjadi, sebagaimana yang di isyaratkan dalam
hikayat nabi Khidir. Karenanya, orang kemudian percaya dan meyakini bahwa ilmu
ini hanyalah milik para nabi dan para wali saja.
Ilmu Laduni telah di persepsikan,
dikontruksikan sedemikian rupa, berkaitan dengan karomah dan lainnya, sehingga
jika kemudian ada orang yang mengaku memiliki kemampuan mendekati persepsi ini,
maka orang tersebut akan di puja-puja bagai orang sakti,
sebagaimana orang yang dianggap setingkat para wali. Begitu terpesonanya
manusia melihat kehebatan yang dipertunjukannya. Sehingga mereka lupa bahwa
bukan itu hakekat Ilmu Laduni. Kehebatan Ilmu Laduni yang disangkakan akhirnya
menjadi tujuan para pemuja ilmu.
Sebuah ironi atas ilmu, jika ada
permintaan maka ada penawaran begitulah hukumnya. Ketika orang tergila-gila
dengan ilmu tersebut, maka ada sebagian orang lainnya yang melakukan klaim
bahwa dirinya telah memiliki ilmu yang dimaksud. Seperti semut bertemu gula,
begitulah keadaannya. Pemilik ilmu kemudian dikerumuni, di puja di perlakukan
bak raja, titahnya adalah titah sang pendito ratu.
Maka bermuncullah orang-orang yang
mengaku aku telah memiliki ilmu Laduni dan bahkan katanya mampu mengajarkan
ilmu tersebut. Munculah fenomena para dukun yang berkolaborasi dengan
para jin, mengaku memiliki ilmu Laduni, biar semakin laris dagangan
mereka karena dianggap wali atau orang tua sakti.
Ilmu Laduni biasa juga di sebut
dengan Ilmu Hikmah adalah Ilmu Hati. Pada awalnya, Ilmu ini lebih banyak
membicarakan perihal penyingkapan hati, teori tentang Dzauk (rahsa) dan Kasyaf.
Jika hati sudah bening maka jiwa diharapkan akan mampu membaca dan
menangkap kehendak-kehendak Allah. Bahkan sampai kepada membaca Lauh Mahfudz.
Dalam dimensi inilah kemudian orang
sering menyalah gunakan pemahaman atas ilmu ini. Orang-orang yang tergila-gila
ilmu ini, mengklaim dirinya telah melihat Lauh Mahfud. Dia meng klaim
telah membaca apa yang tersurat ataupun tersirat, mampu menguraikan hikmah kata
perkata bahkan setiap huruf dari Al qur an. Mampu menguraikan hikmah tiap surah
dan ayat yang berhubungan dengan kekayaan, kesaktian, kekuatan dan
lain-lainnya.
Setiap surah kemudian di urai
menjadi obat bagi siapa saja yang sakit dan membutuhkan bantuan. Pendek kata
ayat-ayat Al qur an dan setiap hurufnya dijadikan komediti yang dapat di jual
belikan sesuai dengan kebutuhan manusianya. Sungguh hal yang menimbulkan bahaya
tersendiri bagi bagi orang yang tidak lurus hatinya.
Rosululloh mengingatkan kepada kita
agar berhati-hati terhadap orang yang mengaku-aku memiliki Ilmu Hikmah
(Laduni). Berkata Aisyah ra bahwa Rosululloh setelah membaca Surah Ali Imron
ayat 7;
“Jika kamu melihat orang-orang
bermujahadah tentang itu (mencari takwil perihal ayat-ayat mustasyabihat) maka
itulah orang-orang yang dimaksud Allah, (orang yang akan menimbulkan fitnah)
maka jauhilah mereka” (Riwayat Imam Ahmad). Riwayat ini di kuatkan oleh
Bukhari, Muslim dan Ibn Jarir.
Banyak sekali ayat yang tidak seharusnya
di takwilkan, dan memang akan sulit di takwilkan. Sebab banyak dimensinya,
salah satunya adalah berada dalam dimensi rahsa, misal kata cinta, kasih
sayang, ikhsan, takwa, syukur, iman, dan lain-lainnya. Kata tersebut hanya akan
mampu dipahami jika kita sudah berada dalam keadaan hal yaitu suasananya.
Maka jika seseorang ingin mengetahui
bagaimanakah keadaan rahsa cinta kepada Allah misalnya, maka orang tersebut
harus memasuki dimensi rahsa. Jika hanya diuraikan melalui akal dan
logika, melalui perbendaharaan kata-kata manusia, maka kita tidak akan mampu
mendapatkan keadaan hal (suasana) sebagaimana yang dimaksud oleh kata cinta itu
sendiri.
Semisal buah jeruk, kita tidak akan
mampu mendapatkan referensi utuh perihal jeruk, jika kita tidak mendapatkan
realitas buah itu sendiri. Jika kita sudah menemukan realitas jeruk maka
karenanya, kita pun dengan sendirinya, menjadi mampu berada dalam
suasana, keadaan, kondisi, hal siap menerima makna hakekat jeruk selanjutnya
yang masuk kedalam kesadaran kita, karena kita sudah memiliki
referensinya (realitasnya).
Jika kita masuk kedalam realitas
dimensi keadaan hal (suasana) hakekat sebagaimana keadaan jeruk itu
sendiri, secara bulat, baik dalam realitasnya maupun dalam dimensi rahsanya,
dan oleh karenanya kita kemudian memiliki pengetahuan tentang hal ikhwal
perihal buah jeruk tersebut dengan benar dan utuh, sehingga kita mampu menjadi
yakin yakinnya, tanpa ada ruang yang menyisakan keraguan sedikitpun di
dalam dada kita, maka oleh sebab karena keyakinan ini, jikalau ada
pembantah meskipun sang pembantah mampu membalikan gunung sekalipun,
keyakinannya akan tetap tidak akan tergoyahkan. Dia akan tetap pada
pendiriannya bahwa hakekat jeruk yang benar adalah yang sebagaimana realitas
dalam kesadarannya itu.
Maka (ketika) kita berada
dalam pengamatan ini, dalam suasana kondisi seperti ini maka secara
tidak langsung, kita tengah berada di dalam bagian dari Ilmu Laduni
itu sendiri. Inilah yang ingin saya sampaikan.
Hakekat Ilmu Laduni
Dalam pemahaman saya hakekat Ilmu
Laduni sendiri adalah sama saja dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu yang dipelajari
melalui pemahaman empiris. Hakekat Ilmu Laduni menurut saya, adalah Ilmu
yang akan menghantarkan kepada seseorang kepada keyakinanya, ilmu yang mampu
menyingkapkan hijab hati atas sesuatu, sehingga nampaklah baginya kebenaran
itu.
Kebenaran itu yang kemudian
akan menjelaskan sendiri bagaimana keadaannya. Selanjutnya, jika kebenaran
sudah diketahuinya dengan hak maka munculah keyakinan utuh, dimana dalam
hatinya tidak menyisakan ruang untuk keraguan sedikitpun. Dengan kata lain Ilmu
Laduni adalah Ilmu yang di gunakan untuk menambah keyakinan seseorang dari
keyakinannya yang ada sebelumnya. Menambah kuat keimanan dari keimanan yang
penuh keraguan. Sebab kebenaran itu sendiri yang akan berkata kepadanya.
Sehingga pada saatnya nanti kesadaran orang tersebut akan sampai kepada/di
posisi kearifan tertinggi sebagai manusia.
Sesungguhnya Al qur an penuh hikmah.
Jika saja kita mampu menerima dan menetapi keadaan yang dimaksud
suatu ayat. Maka itu adalah hikmah yang sangat banyak. Sebab dengan pemahaman
semisal satu ayat saja, jiwa kita akan mampu tenang. Jiwa akan dengan
sendirinya tenang dalam menetapi takdir-takdirnya dalam keyakinannya.
Ketenangan yang tidak di buat-buat.
Sebab dirinya diliputi suatu keyakinan bahwa Allah tidaklah menghendaki
kesukaran bagi dirinya. Bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan maha
Penyayang. Inilah keyakinan sejati. Karena dia sudah pernah
merahsakannya, keadaan dalam keyakinan itu. Disinilah ranah Ilmu Laduni,
wilayah rahsa (dzauq), penyingkapan daya (kasyaf), menetapi posisi kedudukan
dan keadaan jiwa atas hal didalam hikmah atas makna setiap surah.
Saya akan sedikit mengulasnya dengan
salah satu contoh dan keadaannya sebagai berikut, misalnya keadaan pada surat
Al baqoroh ; 185, diinformasikan kepada kita. Firman Allah : “Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. “
Sekilas kita membaca ayat tersebut sebagai informasi biasa saja, namun
jika kita masuki lebih dalam, ayat tersebut seperti bicara kepada kita.
Anehnya, meskipun kita mencoba memasuki lebih dalam lagi keadaan seperti yang
dimaksud ayat tersebut kita tidak akan mampu menemukan keadaan posisi jiwa
disitu yang pas dengan pemahaman ayat tersebut.
Timbullahkeraguan pada diri kita,
seperti apa keadaannya ?. Kemudahan seperti apa yang dimaksudkan. Bukankah
kehidupan kita, hanyalah mendapati kesukaran demi kesukaran, kesulitan
demi kesulitan, hidup tak berbatas tepi, merana terus menerus sepanjang
waktu ?. Begitulah kita akan selalu saja mempertanyakan keadaan diri kita.
Berikutnya alih-alih kita mengakui kebenaran ayat tersebut. Malahan selanjutnya
kita pun akan menganggap remeh, bahkan mengabaikan saja ayat ini. Kita malas
sekali berfikir akan kebenarannya. “Masa bodoh ah..gak ngerti lupakan
saja ..!” Begitulah kita.
Keadaan jiwa akan meliar, bertanya
dan memberontak kepada siapa saja dalam dirinya, kepada apa saja. Jiwa akan
terus mendebat; “Jika Allah mengehendaki kemudahan bagi saya kenapa hidup saya
susah begini, kenapa saya tidak kaya, kenapa saya tidak cantik, kenapa saya
tidak dilahirkan dari konglomerat, apa yang di mudahkan Allah atas saya, kenapa
bla..bla..dan seterusnya dan seterusnya.” Jiwa tidak akan pernah berhenti
menghujat.
Begitulah keadaan jika jiwa tidak
memiliki referensi apapun atas yang kita ucapkan. Dalam kasus ini, jiwa akan
terus bertanya tentang takdirnya. Kemudahan apa yang diberikan Allah atas
takdirnya. Muncullah prasangka kepada Tuhan. “Jika Allah tidak menghendaki
kesukaran pada dirinya, mengapa kehidupannya kok sukar begini.” Jiwa tidak
mengerti, tidak pernah mau mengerti, apa maunya Allah. Sungguh karena
hakekatnya jiwa belum mengetahui keadaan hal kebenaran atas firman Allah tersebut.
Sebagaimana yang dialami kaum
Yahudi ratusan abad lalu, dahulunya mereka seringkali membuang atau
menghilangkan ayat-ayat yang tak dimengertinya, yaitu ayat yang dianggap mereka
tidak pas dengan akal mereka. Sesungguhnya dikarenakan mereka
tidak paham dan tidak pernah mendapatkan posisi dan keadaan yang
pas saja, disebabkan karena terhijab akalnya mereka itu.
Hijab telah menutup diri mereka
untuk mengetahui hakekat dan keadaan hal-nya sebagaimana yang
dimaksudkan surah atau ayat dalam firman Allah. Mereka penuh prasangka,
karenanya mereka membuang sebagian ayatnya atau mengganti dengan buatan mereka
sendiri. Maka kemudian kita dengar ceritanya bahwa kaum Yahudi banyak
yang merubah isi dan kandungan kitab-kitab mereka. Itulah sebab jika manusia
hanya menggunakan akalnya saja, pasti mereka tidak akan mampu menerima
keadaan hal yang dimaksudkan oleh firman Allah. Maka karena
kesombongannya itu, secara begitu saja mereka kemudian mengikari (dalam hati
mereka) dan mendustakan firman-firman Allah tersebut.
Memang tidak gampang memaknai
keadaan yang dimaksud ayat tersebut, dan mengambil ikhwal kebenarannya, namun
jangan sampai karena kita tidak mampu memaknai ayat tersebut,
dengan seenaknya kemudian kita menganggap ayat tersebut salah. Atau
mengabaikan keberadaan adanya firman Allah tersebut. Kita harus ber hati hati
dengan ini.
Kondisi seperti ini sebetulnya
terjadi kepada siapa saja. Ketika keadaan jiwa belum siap maka jiwa tidak akan
mampu menerima keadaan hal dan kebenaran ayat tersebut. Itulah keadaan diri
setiap manusia. Walau bisa saja secara logika kita menerima kebenaran atas
ayat al qur an. Sebab dikarenakan pengaruh kesadaran kolektif atas diri
kita, yaitu keimanan yang diturunkan orang tua kita.
Namun keadaan jiwa nyatanya
tidak bisa dipaksa untuk begitu saja mengakui hal ini. Jika jiwa tidak memiliki
referensi atas rahsa dan keadaan tersebut maka jiwa akan tetap dalam
posisi pengingkaran. Jiwa tidak mampu mengenali, keadaan seperti apa yang
dimaksudkan sehingga terjadilah keraguan yang tersembunyi dalam hatinya.
Keraguan dalam hati inilah yang sering menimbulkan penyakit maka manusia
tidak bisa khusuk. Keraguan ini harus di singkapkan, di buka lapis demi lapis.
Sampai hati menjadi bening dan mampu menerima keadaan hal dan kebenaran firman
Allah yang dimaksudkan tersebut.
Mari kita eksplorasi lagi, bagaima
posisi keadaan jiwa saat kita mengucapkan “Sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. “ Bayangkanlah
bagaimana keadaan jiwa yang semestinya, bagaimana rahsanya, mampukah kita dalam
posisi benar-benar dalam keadaan sebagaimana yang dimaksud oleh ucapan kita itu
?.
Ilmu Laduni akan menyingkapkannya
untuk kita, bagaimana rahsa dan keadaan itu. Sehingga kita akan mampu menetapi
keadaan tersebut dengan sebenar-benarnya, dengan se yakin yakinnya. Keyakinan
yang utuh. Kalau berkeinginan melakukan eksplorasi berikutnya, cobalah
dengan lafadz lainnya; “ Subhanalloh, Alhamdulillah, Allahu Akbar, Lai Ila ha
illlah, Lau haula wala kuwata ila billah, Ina lillahi wa ina ilaihi rojiun.”
Cobalah bagaimana posisi jiwa dalam keadaan hal tersebut.
Makna dan keadaan Hal
Secara sederhana perumpamaannya
adalah sebagaimana keadaan seorang pemuda menyatakan cinta kepada kekasihnya.
“Aku cinta padamu.” Pernyataan ini akan menimbulkan getaran dan sensasi luar
biasa bagi pemuda tersebut. Dan bagi gadis yang mendengarnya pun akan
mampu menangkap getaran dalam nada suara dan bahasa tubuh pemuda tersebut.
Bagaimanakah hal keadaan (suasana) dalam dada pemuda tersebut saat menyatakan
cintanya ?. Inilah perumpamaannya. Inilah yang di kaji dan diungkap, dirahsakan
agar hati mampu menerima keadaan hal sebagaimana makna ayat, itulah
hikmah yang luar biasa. Bagaimanakah (suasana keadaan hal) dada
orang ber iman dan dada orang kafir ?.
Lebih mudahnya lagi saya
ilustrasikan. Ketika kita sudah memiliki referensi akan buah jeruk, di
sebabkan kita pernah, melihat, memegang, mencium, dan memakannya, mengerti rahsanya,
maka saat kita mengatakan “JERUK”. Instrumen ketubuhan kita menerima kata
tersebut dengan rileks saja. Jiwa dan raga pernah merasakan sensasi rahsa buah
jeruk, akal dan indra juga sudah menyaksikan secara benar. Maka jeruk kemudian
menjadi realitas. Menjadi mudah saja kita untuk memahami dan mengenali
sensasi ketika di sebutkan ‘JERUK’.
Maka ketika kita mengatakan. “Aku
suka jeruk.” Semua instrument ketubuhan kita bekerja sinergis menerima, tidak
ada penentangan apapun baik dari akal, indra, jiwa ataupun raga kita. Kita akan
mengenali sensasi (suasana) rahsanya. Semua dipahamkan dan mengerti. Kita
akan dalam keyakinan yang bulat saat mengatakan kalimat tersebut. Karena
jiwa dan raga serta seluruh instrument ketubuhan kita dalam keadaan harmoni. Itulah
perumpamaannya.
Namun sebaliknya jika kita belum
memiliki referensi perihal jeruk, instrument ketubuhan kita akan
mendustakan apapun yang kita katakan tentang jeruk. Kita tidak akan memiliki
keyakinan karena diri kita tidak memiliki referensinya. Meski kita
paksakan untuk mengerti, kita tetap tidak akan menemukan realitas jeruk dalam
diri kita. Meskipun kita paksakan dri kita untuk agar yakin, namun sejatinya
kita hanyalah akan mendapatkan suatu keyakinan yang menipu (keyakinan semu).
Karena di dalam diri kita masih ada
ruangan kosong untuk keraguan. Maka saat (ketika) kita berkata.
“Aku suka jeruk.” Instrumen ketubuhan kita akan menolak, dan mengingkari, ada
penentangan dalam hati. Sebab ada keraguan disana, ada kebohongan yang tersembunyi.
Akibatnya jiwa tetap tidak tenang setelah mengatakan kalimat itu.
Semisal lainnya, saat (ketika)
kita mendengar kabar perihal Taman Impian Jaya Ancol, banyak berita yang masuk
kepada kita. Bagaimana keadaannya, serta apa saja wahana yang di tawarkan disana,
penuh suka cita, pesona segala rupa, dan lainnya. Begitu banyak informasi
yang kita dengar, sehingga tanpa mampu menolaknya kita meyakini bahwa
berita itu adalah suatu kebenaran. Saking sukanya kita dengan berita-berita
tersebut. Maka kemudian kita bahkan mampu menceritakan kepada kawan-kawan kita,
dengan begitu antusiasnya, berikut sensasi dalam angan-angan kita. Masuklah
imajinasi kita ke dalam cerita yang kita bawakan.
Begitu berurut, setiap orang
melakukan kontruksi lagi atas berita yang di dengarnya, berdasarkan imajinasi
dalam versinya masing-masing, cerita dari mulut ke mulut bersambung, di
bawa dari sabang sampai merauke. Sehingga meski tanpa pernah datang kesana
setiap orang akan mampu menceritakan bagaimana keadaan Taman Impian Jaya Ancol,
berikut dengan sensasinya. Dengan serunya setiap orang kemudian berdebat
tentang berita tersebut. Dengan versi kebenarannya sendiri tentunya. Begitulah
keadaannya.
Namun sayangnya, hati tidak pernah
bisa diajak kompromi, ketika kita menceritakan keadaan hal Taman Impian Jaya
Ancol. Hati akan menghakimi kita. Ada kebohongan tersembunyi disana. Maka
ketika kita mengatakan bahwa “Saya percaya atas berita tentang Taman Impian
Jaya Ancol “.
Kemudian ketika kita berkata bahwa
“Saya mencintai Taman Impian Jaya Ancol”. Seluruh instrument ketubuhan kita
akan menolaknya. Dalam dirinya tidak ada realitas atas Taman Impian Jaya Ancol.
Dia belum pernah kesana, belum pernah merasakan sendiri sensasinya. Maka
ada keraguan dalam jiwanya. Jika semakin lama dia bercerita maka akan semakin
dalam hijab yang menutupnya. Sehingga dia semakin jauh dari hakekat keadaan
Taman Impian Jaya Ancol yang di maksud itu sendiri.
Dalam dirinya hanya penuh angan dan
imajinasi yang menipu dirinya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk
sebuah keyakinan, jiwa harus menemukan realitas Taman Impian Jaya Ancol, agar
dia yakin seyakin-yakinnya. Tiada jalan lain selain dia harus datang, mengenal
dan merasakan sendiri bagaimana keadaan tempat tersebut.
Ilustrasi tersebut ingin menjelaskan
bahwa ketika kita mengatakan. “Aku beriman kepada Allah.” Padahal kita sendiri
tidak pernah memiliki referensi kata “IMAN’. Dan Kita sendiri juga tidak
mengenal Tuhan “ALLAH” , maka pastilah instrument ketubuhan kita akan mengikari,
ada keraguan disana, ada kebohongan tersembunyi. Inilah yang menyebabkan
meskipun kita sudah beribadah sedemikian hebat, hati tetap tidak tenang.
Karena diri kita tidak memiliki
referensi apapun atas kalimat yang kita ucapkan. Begitu pula kejadiannya,
sama keadaannya (ketika) saat ber dzikir dan dalam diri kita tidak
memiliki referensi apapun atas rahsa dan keadaan hal sebagaimana di maksudkan
lafadz yang kita dzikirkan. Maka sudah barang tentu kita tidak mampu berada
dalam posisi keadaan sebagaimana maksud dalam kita ber dzikir. Ketika kita
tetap nekad, hantam kromo saja, di khawatirkan justru malahan Jin yang datang,
terpanggil oleh energy dzikir kita, maka seringkali kita temukan seseorang yang
banyak dzikir keadaan dirinya malahan diliputi para kodam, seakan-akan
dia memelihara kodam yang selalu mengikuti apa saja maunya. Inilah jenis hijab
lainnya. Dia akan sulit sekali masuk kepada hakekat “la haula wala kuwata ila
billah’.
Inilah yang menjadi sebab mengapa
ketika kita ‘mengingat Allah’ hati kita tetap tidak mampu tenang. Dan di
posisi lain, diri kita tetap tidak mampu menikmati takdir kita dengan puas,
ikhlas dan ridho. Padahal dalam ayat Al qur an jelas dikatakan “Dengan
mengingat Allah maka hati akan tenang.” Disinilah Ilmu Laduni akan memandu kita
dalam menemukan hikmah atas makna ayat dalam Al qur an, secara benar,
pada posisi jiwa yang benar. Sebagaimana yang dimaksud. Sehingga kita akan
mampu mengatakan kalimat tersebut dengan keyakinan yang bulat. Sehingga
karenanya, kita akan mampu kembali ber dzikir dengan khusuk. Kearah
tujuan itulah hakekat keberadaan Ilmu Laduni.
Karena sekali lagi, sudah semestinya
kita menyingkap hikmah atas keadaan hal dari setiap ayat, kemudian
selanjutnya adalah bagaimana kita mampu mendapatkan posisi pada wilayah rahsa
yang dimaksudkan. Keadaan yang dimaksudkan harus menjadi realitas bagi
diri kita.
Sebagaimana ilustrasi buah jeruk
tadi. Kita harus memiliki referensi atas setiap kata yang kita ucapkan. Kita
harus mengenal rahsa yang menyingkap makna. Keadaan realitas yang sebenarnya,
sehingga kita mampu mengucapkan kalimat (ayat) dengan khusuk. Ini adalah
wilayah rahsa (dzauq) dan penyingkapan (kasyaf). Suatu lintasan rahsa
yang unik, sangat subyektif sifatnya.
Keadaan ini sungguh penting,
dikarenakan dengan mengetahui keadaan ini, kita akan tahu bahwa saat itu,
kita sedang melakukan penyembahan kepada siapa, kepada Allah ataukah
kepada selain Allah. Disinilah Ilmu Laduni akan banyak membantu.
Meskipun setiap orang nantinya dalam
kadar dan ukurannya masing-masing dalam hal ini, namun tidak seharusnya
kemudian kita mengesampingkan realitas keadaan posisi jiwa dimana saat terkini.
Mengetahui dimana jiwa dalam keadaan orbit yang semestinya. Maka tidak
selayaknya jika kita mengabaikan keberadaan Ilmu Laduni ini.
Khazhanah Intelektual
Ilmu Laduni adalah khazanah kekayaan
intelektual Islam yang tersembunyi. Ilmu ini telah di bingkai dan di bonsai
sedemikian rupa, dianggap tabu, sehingga secara perlahan menghilang dari
kesadaran umat Islam.
Ilmu ini pernah diperdebatkan
berabad-abad lalu. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sungguh sayang sekali,
jika ilmu ini akhirnya tenggelam dalam hiruk pikuk peradabaan. Jangan
disalahkan, jika kemudian Ilmu ini akhirnya dimanfaatkan oleh orang yang
tidak mengerti, mereka menggunakannya untuk kepentingan nafsu mereka
sendiri, mereka riya’ dengan ilmu mereka ini. Inilah yang menjadi penyebab
kenapa Ilmu ini kemudian terpinggirkan.
Menjadi keprihatinan kita, sungguh
sangat di sayangkan, jika khazanah ke ilmuan ini di manfaatkan hanya
untuk sekedar pamer saja. Padahal dalam riwayat lain di ceritakan
bahwa Ilmu inilah yang telah membantu Hujatul Islam Imam Ghozali
mendapatkan pencerahan kembali setelah sakit dan mengalami keraguan yang serius
dalam mencari hakekat ilmu dan hakekat kebenaran. Syukurlah beliau
disamping kesembuhannya, akhirnya beliau juga telah
berhasil menyusun ulang kaidah-kaidahnya secara lebih terperinci dan
lengkap.
Marilah kita formulasikan kembali
makna dan hakekat Ilmu Laduni, sehingga sesuai dengan tuntutan jaman. Mari kita
lihat kondisi masyarakat kita, sebagian besar umat Islam adalah orang
awam, mereka adalah garda terdepan yang senantiasa terus di benturkan
dengan kehidupan, merekalah yang berhadapan dengan kesadaran liberalisme dan
lain-lainnya. Mestinya mereka berbekal keimanan yang kuat. Namun keadaannya
tidak demikian. Kesibukan telah menyita hari-hari mereka. Jangankan untuk
menghapalkan dalil-dalil dan meng hapal Al qur an. Untuk sekedar memenuhi dan
menggugurkan kewajiban sholat 5 waktu saja merekapun masih kesulitan. Bagaimana
pula harus mempelajari dalil dalil ilmu kalam yang diwajibkan atas mereka, agar
mampu melaksanakan syariat ?. Bukankah agama akan memberatkan jadinya ?.
Keadaan mereka terus di kejar waktu,
tidak ada kesempatan mengkaji dalil-dalil sebagaimana yang di isyaratkan ilmu
kalam (Baca; syariat). Kewajiban yang menjadi persyaratan ini akhirnya
membebani mereka. Seperti menjadi keengganan lainnya jika mereka harus
berbicara agama sebagai jalan hidup. Agama akhirnya menjadibeban hidup itu
sendiri. Seperti dua sisi mata uang saja. Sehingga hidup mereka kering, pada
gilirannya menyebabkan kesulitan tersendiri bagi mereka, dalam menjalankan
kehidupan beragama.
Meskipun begitu, namun sesungguhnya
kecintaan mereka atas Islam sejatinya tidak pernah surut. Bukankah sudah
terbukti, jika ada sedikit saja kaum lain yang mengusik Islam, mereka akan
berontak. Mereka akan melawan dengan kekerasan. Kecintaan yang menimbulkan
dilema. Sebab karena ulah seperti ini Islam terlihat menjadi gahar, Islam yang
penuh prasangka dan permusuhan. Jauh dari agama yang penuh kasih.
Walau begitu, tidaklah
seharusnya jika mereka kemudian terpinggirkan, dan ditinggalkan
dengan tidak mendapatkan pengajaran !. Bukankah ini menjadi tantangan
tersendiri bagi kita ?. “Bagaimana agar kaum awam seperti kita ini mampu
menjalani kehidupan beragama dan berketuhanan meskipun dibelit dinamika
kota.” Pertanyaan yang seharus bisa segera terjawab oleh Islam itu sendiri.
Pengajaran yang sederhana namun
mampu memenuhi kebutuhan mereka dalam beragama. Inilah jawabannya, solusi
yang diharapkan kaum urban. Belajar agama melalui pengajaran ringkas dan
sederhana, dan tidak ribet, namun cukup untuk menjadi bekal kita
menjalani hidup, dengan tenang, puas dan ridho. Bukankah ini sudah
seharusnya ?. Pengajaran Islam sederhana namun dalam dan syarat makna,
sebagai bekal dalam mengarungi hidup di dunia dan di akhirat nanti.
Inilah yang dimaui. Karena yakinlah, jikalaupun kita hanya mampu memahami
satu ayat saja dengan benar, semisal “Bismillahi rohmani rohiem” kita manusia
sudah dapat di pastikan akan mampu hidup puas, tenang, dan ridho. Sungguh, jika
saja kita mengetahui dan meyakini hal ini (!?!).
Al qur an adalah kitab yang
penuh hikmah. Maka disebutkanlah jika manusia diberikan hikmah ilmu,
semisal satu ayat saja, dapatlah dikatakan, bahwa dia
sesungguhnya sudah mendapatkan rejeki yang amat sangat banyak. Inilah
faedah ilmu hikmah (Laduni) yang di tawarkan. Maka sudah selayaknya jika
Ilmu Laduni di kaji ulang, menjadi solusi alternatif pengajaran bagi
masyarakat urban ibukota.
Batasan Ilmu Laduni
Ilmu Laduni adalah sebuah
keniscayaan, ilmu yang sebaiknya dimiliki oleh umat Islam. Apakah terlalu
berlebihan statemen ini. Rasanya tidak. Seseorang yang telah memiliki iman
dalam hatinya dan dia bertakwa kepada Allah, akan dengan sendirinya
memiliki ilmu ini. Inilah keniscayaan yang saya maksudkan. Pengetahuan
akan penyingkapan hati, pengetahuan kasyaf , kemampuan seseorang dalam
mengenali daya yang bekerja pada dirinya, adalah sebuah kemampuan yang
layak dimiliki.
Menjadi pertanyaan dalam
kajian-kajian terdahulu, bagaimana kita mampu mengenali sebuah daya yang
bekerja pada diri kita adalah benar daya Allah, bukannya daya yang berasal dari
proses induksi. Inilah pertanyaan kita selalu. Keyakinan bahwa daya yang
bekerja pada diri kita adalah daya Allah, adalah sebuah keniscayaan yang
seharusnya dimiliki oleh kaum muslimin.
Sayangnya, mengenali sebuah daya dan
kemudian menetapinya sebagai daya dari Allah adalah sebuah persoalan tersendiri
bagi umat Islam. Mereka selalu merasa sudah benar dalam penyembahan
mereka, mereka enggan masuk ke dalam hatinya masing-masing mempertanyakan
hal ini. Mereka dan kita semua sering tidak mau mempersoalankan lagi apakah
daya yang kita pergunakan adalah benar daya Allah atau bukan.
Sudah mampukah kita meniadakan
daya-daya lain yang mencoba memperngaruhi diri kita dan berkata dengan yakin
bahwa tiada daya upaya selain (daya) Allah. Tanpa keyakinan yang benar, maka
sesungguhnya kita tidak akan mampu mengatakan hal ini. Kita akan mengalami
keraguan dan keraguan terus. Semua dalam kesulitan (ketika) saat ber
ikhsan. Hakekat bahwa Allah melihat kita, dan hakekat bahwa (seakan akan) kita
melihat Allah. Inilah salah satu sebab mengapa umat muslim Indonesia mengalami
kemrosotan akhlak yang akut.
Sebab ketika kita sudah yakin dan
mampu mengenali daya tersebut, maka tenanglah hati dan jiwa kita. Inilah system
bekerjanya ketubuhan kita. Bagaimana mengenali daya tersebut jika kita tidak
memiliki pengetahuan atas ini ?. Maka dengan ilmu (kasyaf) inilah diharapkan
manusia akan dapat mengenali daya tersebut dan kemudian yakin atas ini.
Pengetahuan ini bukanlah datang secara tiba-tiba, seseorang harus melakukan
perjalanan sendiri-sendiri.
Pengetahuan ini bukan datang dengan
cara membaca, ataupun belajar dari seorang guru. Pengetahuan ini langsung
diajarkan oleh Allah kepadanya. Maka seseorang yang menginginkan pengetahuan
ini wajib melakukan perjalanan rohani, sampai nantinya Allah akan
menunjukan jalan kepada-Nya.
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sungguh (jihad) untuk mencari keridhaan Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. “ (QS. Al Ankabut : 69)
Inilah janji Allah, maka saya
katakan bahwa Ilmu Laduni adalah sebuah keniscayaan saja. Yaitu bagi setiap
muslim yang mencari keridhaan Allah dengan sungguh-sungguh maka kepadanya akan
ditunjukkan jalan ini. Sebab dengan Ilmu ini dia akan mampu mengenali daya, dia
akan mampu mengenali dualitas rahsa, dia kemudian akan mengenali
jalan-jalan-Nya. Inilah keniscayaan berikutnya, membedakan rahsa-rahsa di jiwa,
yaitu sebuah efek sensasi rahsa yang ditimbulkan oleh sebagai akibat
penyembahan diri kita, apakah kepada Allah atau kepada selain Allah.
Dirinya akan mengenali rahsa tersebut, membedakannya, sehingga kemudian dia
mampu melakukan koreksi dan bertobat, meluruskan kembali niatnya, jika kita salah
dalam penyembahan diri kita. D
engan ilmu ini (kasyaf) dia akan
mampu menghadapkan dirinya dengan keyakinan yang benar kepada Tuhan
(Allah) Yang maha Esa bukan kepada Tuhan yang sebatas dalam persepsi
saja, bukan kepada Hantu yang malah dianggapnya sebagai Tuhan.
Semua akan diketahuinya melalui penyingkapan hati, melalui sensasi rahsa yang
tak sama. Akan ada efek dualitas rahsa yang akan mampu dikenal dengan
baik, sehingga dirinya tidak dibingungkan lagi oleh sensasi dualitas rahsa
tersebut.
Saya ingin memisahkan pemahaman saya
dengan pemahaman bahwa Ilmu Laduni atau Ilmu Hikmah adalah sebuah ilmu
yang dimaksudkan dan identik dengan kemampauan seseorang yang memilikii
karomah, supranatural, atau kesaktian-kesaktian lainnya. Bukan itu yang saya
maksudkan. Bukan atas pemahaman itu, kajian ini dituliskan dan bukan maksud
dari kajian ini ke arah sana.
Saya akan membatasi pemahaman bahwa
Ilmu Laduni , menurut pendapat saya adalah sebuah ilmu mengenali rahsa
(dzauq), menyingkap hati, dan mengenal daya (kasyah) di dalam diri manusia
sendiri. Ilmu yang akan mampu menyingkap hakekat diri manusia itu sendiri.
Sehingga manusia akan mampu mengenali dirinya sendiri.
Ilmu Laduni adalah ilmu yang sangat
spesifik dan unik. Setiap manusia akan diberikan ilmu ini, namun sayangnya ilmu
ini hanya bisa digunakan untuk dirinya sendiri saja. Inilah pemahaman
saya, sehingga ilmu ini tidak mungkin dapat diajarkan kepada lainnya. Dia hanya
bisa menggunakan ilmu tersebut hanya untuk mengenali dirinya sendiri, mengenali
lintasan hati dan penyingkapannya. Maka berhati-hatilah kepada orang yang
mengatakan memiliki ilmu ini dan mengatakan mampu mengajarkan Ilmu Laduni
ini. Dalam pemahaman saya Ilmu Laduni bukanlah sebuah ilmu tentang kesaktian
manusia, ilmu ini adalah sebuah ilmu hikmah.
Hikmah apa yang perlu diketahui
seseorang atas sesuatu hal, maka hanya Allah dan dia saja yang tahu.
Allah Maha Tahu, yang akan menyingkapkan rahasia hikmah apa saja
untuk dirinya. Hikmah yang hanya pas untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang
lain. Hanya dia sendiri yang akan memetik hikmah pelajarannya. Maka pengajaran
seperti apa, kurikulum yang mana yang akan pas untuk setiap
manusia, hanya Allah yang tahu. Maka hubungan belajar dan mengajar ini
sangatlah spesifik sifatnya dan ‘privat’ sekali.
Mengenali rahsa (dzauq), mengenali
daya (kasyaf), Ilmu yang mampu meyingkap rahasia hati, sehingga dengan ilmu ini
seseorang akan memiliki keyakinan yang tidak akan menyisakan ruang bagi
keraguan sedikitpun. Karena telah terbukanya hijab dan penyingkapan hati.
Inilah hakekat dan batasan Ilmu Laduni yang saya maksudkan.
Dengan ilmu inilah seorang muslim
akan dapat memahami hikmah dam hakekat kebenaran itu sendiri. Sehingga dia
tidak akan dibingungkan lagi dengan versi kebenaran kelompok lainnya. Jikalau
dalam penyingkapan hikmah, seseorang kemudian di pahamkan melalui cara-cara
yang di luar nalar dan logika, (sehingga manusia menganggap sebagai karomah)
itu sifatnya hanya individualistis, dan karena semua terserah kepada Allah bagaimana
memberikan pengajaran.
Pengajaran dalam mengenali daya,
memang kadang sangat mempesona. Hampir semua yang penulis kenal yang sedang
belajar hal ini tiba-tiba memiliki kemampuan yang tidak biasa. Kadang bisa
memberhentikan hujan, memberhentikan dan membalikan arah angin, dan juga
kemampuan supranatural lainnya. Banyak diantaranya yang kemudian mampu
menyembuhkan penyakit non medis, yang di sebabkan makhluk ghaib, dan lain sebagainya.
Tersingkapnya hijab hati akan menyingkapkan ke ghaiban inilah
konsekwensinya, maka dia akan mampu berkomunikasi dengan makhluk ghaib,
dan mengenali kesadaran-kesadaran lainnya, mengenal dari rahsa di jiwa.
Dirinya akan senantiasa di hadapkan
kepada dua dunia, beserta dimensi-dimensinya. Dirinya dibenturkan kepada sebuah
fakta untuk memaknai manakah yang sebenarnya Realitas dan manakah yang
Ghaib. Dualitas rahsa dalam kesadarannya. Karena semua menjadi seakan-akan sama
saja. Tinggal dia mau memaknai seperti apa keadaannya dan sebagai apa. Apakah
akan memaknainya sebagai hal ghaib ataukah sebagai realitas alam semesta saja,
suatu kewajaran. Sungguh mempesona. Namun hakekatnya itu hanyalah
pembelajaran saja kepadanya. Dia sedang diajarkan pelajaran mengenai daya
yang sedang bekerja, daya yang bekerja di alam dan dalam tubuh manusia
itu sendiri. Diajarkan siapakah dirinya, hakekat dirinya sendiri, hakekat
tentang AKU.
Maka celakalah orang yang kemudian
mengaku-aku memiliki daya ini. Celakalah orang yang mengaku aku memiliki Ilmu
Laduni ini. Kemudian menganggul-anggulkannya, sebagai kesaktian, sebagai
karomah, atau lainnya. Karena hakekatnya ilmu ini berada di antara ada
dan tiada, hikmah diantara realitas dan ghaib. Semua milik Allah. Hasil yang benar
jika seseorang memiliki ilmu ini adalah kebalikannya, dia akan menjadi merasa
tidak memiliki ilmu sama sekali. Seseorang justru akan merasa tidak
memiliki daya sama sekali, setelah belajar dan memahami hakekat ilmu ini.
Inilah keanehannya.
Semua tergantung rahmat Allah
semata. Dia hanya menggantungkan hidupnya dari kemurahan Allah, yang akan
memberikan daya kepadanya atau tidak. Inilah hakekat hasil pembelajaran Ilmu
Laduni. Ilmu ini ada namun menjadi tiada, karena hakekatnya adalah kita kemudian
meniadakan ilmu ini sendiri. Ilmu ini berada dalam kesadaran realitas dan
keghaiban itu sendiri.
Karenanya kita akan kesulitan jika
mencari orang yang benar-benar memiliki ilmu ini, karena dia akan tersembunyi
diantara manusia lainnya. Jika tersingkapkan, Ilmu ini menurutnya, hanya akan
menjadi aib nya saja nanti. Begitu takutnya dia kepada Allah, takut menjadi
riya’ jika dirinya diketahui. Maka keberadaan orang-orang ini nyaris
terabaikan, mungkin saja ada diantara kita semua, namun kita tidak tahu. Ciri-ciri
seorang muslim sejati ada pada dirinya. Itulah tanda-tandanya.
Ini adalah ilmu ketiadaan,
meniadakan daya upaya kita, dia hanya bisa pasrah
menggantungkan dirinya atas daya yang diberikan Allah. Dia benar-benar
merasa menjadi manusia yang tidak punya daya sama sekali. Benar-benar lemah,
menjadi manusia biasa, sangat biasa. Dia merasa tidak tahu apa-apa, karena
semuanya seakan-akan hanya di tarok begitu saja. Dia akan menjadi tunduk,
rendah hati, karena dia menyadari bahwa dirinya bukan apa-apa, bukan
siapa-siapa. Dan lain lain, dan lain lain. Hingga pada gilirannya nanti
sampailah dirinya kepada makom kearifan tertinggi dalam dimensi manusia.
Jika tertarik belajar Ilmu ini, Ilmu
Laduni, maka menurut hemat saya tidaklah harus belajar kepada orang lain.
Sebab begitu sulitnya jaman sekarang ini menemukan orang seperti itu.
Belajarlah kepada Allah. Bergurulah kepada Allah.
Begitulah ke-khas-an Ilmu Laduni,
dalam pemahaman saya, bagaimana memulai nya ?. Maka ini hanyalah sekedar
sharing saja, sekali lagi hakekatnya hanya Allah saja yang tahu, pengajaran
seperti apakah yang pas buat diri kita masing-masing.
Dari mana mulai ?
Di awali dari sebuah pertanyaan yang
di lontarkan. Mengapa manusia menerima dengan sikap pasrah sebuah keyakinan
secara turun temurun, tanpa sedikitpun keraguan ?. Mengapa manusia tidak
mau menggunakan bukti-bukti rasional sebagai dasar penerimaan itu ?.
Mengapa setiap kelompok meyakini
paham mereka sebagai suatu kebenaran ?. Bersikukuh mempertahankan keyakinan
yang di dapat dari nenek moyang mereka secara turun temurun, tanpa
meragukan sedikitpun. Mengapa Islam, Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, Bathiniyah,
dan lainnya tetap dalam pendapatnya itu. Sehingga pada gilirannya, membuat
mereka sendiri menjadi sangat sensitif ketika diantara mereka
mengalami benturan keyakinan dan bersinggungan paham.
Mengapakah hal ini tidak menimbul
pertanyaan dan keraguan kepada kita, manakah diantara paham mereka sesungguhnya
yang benar.
Marilah kita telusuri mengapa
keadaannya begitu. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya saja
kedua orang tuanya menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. “ (HR. Al
Bukhari, Muslim, Malik, dan Ahmad).
Itulah keadaan real kondisi manusia,
saat dia dilahirkan, dia sudah berada dalam kesadaran kolektif masyarakatnya.
Dia tidak bisa memilih orang tuanya, lingkungannya, atau agamanya.
Jikalau begitu dapatkah dia
disalahkan pada satu sisi itu saja, ketika dia memeluk agama Yahudi, Nasrani
atau Majusi ?. Apakah orang tuanya yang salah ?. Ternyata tidak juga, karena
ternyata orang tuanyapun mengalami nasib yang sama. Dia juga hanya menerima
agama dari orang tuanya lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Setiap manusia
hanya menerima begitu saja paham dan keyakinan dari nenek moyang nenek moyang
mereka.
Jikalau setiap manusia mengalami
kejadian yang sama seperti itu, kenapa mereka semua harus mewarisi juga
sikap permusuhan nenek moyang-nenek moyang mereka semua ?. Menjadi permusuhan
yang turun temurun lintas generasi, permusuhan yang tiada habis-habisnya.
Praduga dan persepsi di bangun atas cerita masa lalu. Tidakkah sebaiknya setiap
golongan, setiap manusia duduk bersama mengkaji kebenaran masing-masing.
Melakukan kontemplasi dalam diri sendiri mencari hakekat ilmu pengetahuan dan
hakekat kebenaran.
Yakinlah, manusia dahulunya adalah
umat yang satu. Agama dahulunya adalah satu. Kemudian ada sebagian dari manusia
yang di berikan pengetahuan menyimpangkannya, mengikuti hawa nafsunya.
Pemahaman tersebut kemudian diturunkan, diikuti oleh keturunan keturunan mereka
secara membuta. Sampailah kepada kita sekarang ini. Sesungguhnya manusia telah
melalaikan keadaan yang sudah sekian lama begini, berabad abad lalu hingga
melintasi jaman dan peradaban, sampailah kepada kita sekarang ini. Dinamika
seluruh umat manusia dengan pelbagai macam keyakinan dan kebenaran versi
masing-masing.
Kita seharusnya khawatir
dengan perkembangan agama Islam itu sendiri, kemudian mempertanyakan
dengan keraguan, mengapa begitu banyak mahzab di dalam Islam, mengapa Islam
juga terpecah-pecah. Manakah yang benar diantara mereka. Kita harus memiliki
Ilmu yakin atas kebenaran yang di dalamnya tidak menyisakan sedikitpun ruang
bagi keraguan. Keyakinan yang haqul yaqin yang tidak menyertakan kemungkinan
salah dan praduga.
Sebuah keyakinan atas kebenaran yang
tidak mungkin mampu di goyahkan sedikitpun oleh siapapun, meskipun sang
pembantah memberikan emas sebesar gunung sekalipun. Dan selanjutnya kita mampu
menyikapi atas perbedaan yang tengah terjadi di dalam masyarakat itu
dengan kearifan, sebab hakekat kebenaran datangnya dari Allah.
Muncullah pemahaman bahwa hakekatnya
setiap golongan hanya berada dalam makom mereka masing-masing. Tentunya
mereka semuanya nanti, jika telah satu dalam kebenaran Tuhan
maka seluruh umat manusia akan menjadi kembali bersatu lagi dalam dienul
Islam. Itulah keyakinan Islam.
Sekali lagi, setiap mahzab, setiap
golongan senantiasa melakukan klaim atas kebenaran mereka, namun kita tidak
pernah tahu, diantara mereka manakah sesungguhnya yang benar. Benar
dalam kebenaran Allah. Dimanakah rantai yang terputus, dimanakah ‘missing
link’ nya, sehingga kebenaran yang sampai kepada kita sudah terserak-serak,
sudah tidak lengkap lagi.
Kita harus menanyakan kepada diri
kita melalui keraguan. Karena Al qur an telah mengisyaratkan demikian. Pada
setiap peradaban mungkin ada saja nenek moyang kita yang lalai. Kita harus
khawatir atas hal itu. Sehingga kitalah yang di harapkan mampu
memutuskan mata rantainya, mencari dimanakah asal muaranya, mencari jalan
penghubung atas ajaran nabi Ibrahim yang lurus (Milah Ibrahim). Sehingga
kita memliki keyakinan yang benar, yang selanjutnya dengan ini, dapat
kita wariskan kembali kepada anak cucu kita berikutnya. Menjadi generasi Islam
yang wajahnya penuh senyum, yang senantiasa menjadi rahmat bagi yang lainnya.
Islam adalah rahmat semesta alam.
Generasi yang melalaikan
“Ya Sin. Demi Al qur an yang penuh
hikmah. Sungguh engkau (Muhammad) adalah seorang dari rosul-rosul. Diatas jalan
yang lurus. (Sebagai wahyu) yang diturunkan (Allah) yang maha Perkasa, Maha
Penyayang. Agar engkau memberi peringatan kepada suatu kaum yang nenek
moyangnya belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai. Sungguh,
pasti berlaku perkataan terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak
beriman. “ (QS. Ya sin 1-7)
Al qur an jauh hari sudah
memperingatkan hal tersebut. Dalam setiap peradaban setiap abad akan terdapat
suatu kaum yang nenek moyang-nenek moyang mereka lalai. Maka Al qur an kemudian
di turunkan, sebagai wahyu, memberikan peringatan kepada kita, atas
kemungkinan tersebut dengan sebuah praduga bahwa diduga diantara nenek
moyang kita terdahulu terdapat suatu generasi yang lalai.
Terjadilah ‘missing link’ mata
rantai yang terputus. Sehingga sampai ke jaman kita, sudah menjadi
banyak versi kebenaran yang terserak diantara setiap golongan. Kitalah semua
yang harus mengkritisi, ke dalam diri kita masing-masing. Mengikuti petunjuk
di dalam Al qur an. Mencari kebenaran itu sendiri.
Al qur an menuntut ke aktifan
manusia dalam mencari kebenaran. Menguji kembali keimanan yang telah diwariskan
kepada diri kita masing-masing. Meminimalisir kelalaian nenek moyang kita
yang beranggapan bahwa diri mereka sudah benar, sehingga karenanya mereka
lalai, dan karena itu mereka tidak mau lagi mencari kebenaran. Sehingga
kebenaran yang sampai kepada kita sudah tidak sempurna.
Kebenaran harusnya sampai kepada
kita melalui jalan yang lurus (shirotol mustakim). Bukan melalui jalan orang
yang sesat ataupun jalannya orang yang di murkai Allah. Maka kita wajib
meyakinkan diri kita atas hal tersebut. Sehingga kita mampu mengamankan
setidaknya jalan kita sendiri terlebih dahulu.
Pertanyaan-pertanyan tersebut layaknya
terus di lontarkkan ke dalam hati. Sebagaimana yang dilakukan nabi Ibrahim as,
ketika mencari hakekat Tuhan, sebagaimana juga yang di lakukan Rosululloh dalam
kontemplasinya sepanjang waktu dan di perkuat saat-saat di gua hiro.
Begitu juga sebagaimana Hujatul
Islam Imam Al Ghozali. Ini adalah pondasi dasar untuk melatih instrumen
ketubuhan kita, mempersiapkan kondisi saat di susupkan contoh rahsa agar
dikenali. Semua dimulai dengan pertanyaan, penuh keraguan atas suatu keadaan.
Melihat ke dalam diri, mencari referensi atas sesuatu itu, dari dalam jiwa kita
sendiri.
Pengajaran yang sederhana
Marilah kita masuki saja agar
menjadi lebih jelas apa yang saya maksudkan. Kita mulai dari hal yang
sederhana. Kita coba dari masalah yang paling banyak terjadi menimpa kita kaum
awam adalah perihal sholat. Al qur an sudah memberikan solusi efektif
bagi kita kaum urban dalam menghadapi kesempitan dan tuntutan hidup.
Firman Allah “Jadikanlah sabar dan
sholat sebagai penolongmu. “ (QS. Al baqoroh 45). Perintah tersebut jelas
tidak mungkin salah. Masalahnya adalah kita yang belum mampu. Maka mulailah
kita bertanya dalam hati kita, berdialog dengan tajam dan dalam.
· Apakah sholat yang di ajarkan
orang tua kita sudah benar, sehingga sholat mampu menjadi penolong kita
?.
· Apakah ada yang salah, sehingga
sholat belum dapat saya jadikan penolong ?.
· Mengapa sholat dapat di jadikan
penolong ?. Bagaimana caranya ?
· Nyatanya berat bukan ?. Kenapa kok
saya tidak bisa melakukan hal itu ?
· Hanya orang yang khusuk yang dapat
melakukan itu ?
· Mengapa saya tidak bisa khusuk ?.
· Terus bertanyalah dan jawablah
dengan jujur. Latih terus instrument ketubuhan kita.
· Kuatkan hati dan terus bertanya
kepada Allah. Bagaimana caranya agar kita mampu mengerti.
Begitu juga dalam mengenal Allah,
baiknya kita mulai dari ayat yang sering kita lafadzkan sehari-hari . Bisa dari
“Bismillahi rohmani rohiem”. Pernyataan tersebut harus kita akui pasti
benar.
Maka kenalilah, bertanyalah terus,
kasih sayang apakah yang telah diberikan kepada kita. Terlihat sederhana
pertanyaan ini, namun seperti uraian dimuka, saat kita tidak memliki referensi
apapun tentang sifat kasih dan sayang Allah, kita tidak akan mampu mengucapkan
ini dengan keyakinan.
Ketika kita tidak yakin dengan ini,
maka kita juga akan sulit mengenal Allah. Sebab dikarenakan kita tidak memiliki
referensi sifat kasih dan sayang-Nya dalam diri kita. Ketika kita tidak
mampu mengenal Allah, maka selanjutnya kita akan sulit khusuk dalam sholat.
Sungguh bagi sebagian orang,
menemukan dan mencari referensi kasih sayang Allah di dalam dirinya, merupakan
perjuangan yang melelahkan, mendaki lagi sukar. Banyak kesadaran lain yang
menghijab. Banyak sekali kesadaran lain yang ikut di dalam dirinya akan
melakukan pengingkaran-pengingkaran,
Bahkan mungkin akal , mungkin
jiwanya sendiri juga akan melakukan pengingkaran, sehingga hati sulit sekali
mendapatkan hal atau keadaan seperti keadaannya. Yaitu keadaan rahsa di dada
seperti dimaksud ketika Allah melimpahkan kasih sayangnya.
Apakah kita mengerti dan memahami
bagaimana keadaan tersebut ?. Tentunya kita harus belajar mengenali, belajar
untuk mendapatkan contoh rahsanya, dengan suatu mujahadah yang tak kenal lelah,
agar nantinya tidak salah lagi.
Kita harus terus istikomah, melewati
fase-fase awal. Kesadaran-kesadaran yang berada dalam diri kita secara perlahan
tapi pasti akan di singkap, bagai mengupas kulit bawang, selapis demi selapis.
Yakinlah, dengan mengenal Allah melalui sifat kasih sayang-Nya saja kita
sudah akan mampu menjalani kehidupan beragama dengan tenang, puas dan ridho.
Inilah pengajaran yang sederhana namun tepat guna dan manfaat.
Bila orang tua kita hanya
mengajarkan “Bismillah”, maka masuki saja lebih dalam. Insyaallah dengan ini,
kita akan mampu mengerjakan dan mendirikan syariat dengan lebih ringan, lebih
ikhlas dan sabar. Agama selanjutnya tidak menjadi beban kita lagi. Insyaallah
beragama dan berkerja akan sejalan. Meskipun penguasaan agama kita hanya
sedikit.
Berguru Kepada Allah
Masih banyak yang harus
disingkapkan, perihal bagaimana pengajaran Allah, bagaimana keadaannya jika
kita berguru kepada Allah. Sungguh luar biasa pernyataan yang di usung Ustad
Abu Sangkan.
Dalam bukunya Berguru Kepada Allah.
Meski menabrak logika berfikir umat Islam, dan mendobrak ‘mainstream’ yang
begitu kuat. Nyatanya pemahaman ini secara perlahan mampu diterima
masyarakat. Meski pada awalnya banyak penentangan di sana-sini.
Lambat laun, masyarakat mampu
melihat dengan jernih kemana muaranya. Pemahaman ini secara tidak langsung
telah melahirkan paradigma baru dalam konsep berfikir tentang Islam itu
sendiri. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya atas diri beliau. Amin
Dalam perjalanan Berguru Kepada
Allah, manusia akan diperjalankan, dan di ajarkan bagaimana memahami dirinya
sendiri terlebih dahulu. Terutama adalah bagaimana manusia mampu memahami
dualitas rahsa yang telah disusupkan oleh Allah kepadanya. Rahsa pada jiwa
yaitu kefasikan dan ketakwaan.
Manusia harus mengenalinya.
Membedakannya bagaimana sensasi rahsa bila kita berada dalam makom kefasikan
dan bagaimana juga keadaan sensasi rahsa di jiwa ketika kita berada di makom
ketakwaan. Sungguh kita harus mampu membedakan keadaan ini. Agar kita tidak
tertipu.
Manusia secara perlahan diminta
mengenali rahsa takut, rahsa syukur, rahsa takwa, tawakal, iman, sabar, harap,
dan lain-lain, dan berikut dengan dualitasnya, yaitu rahsa kebalikannya.
Digulirkan juga rahsa senang dan sedih, gembira dan nestapa, sukses dan kecewa,
dan bagaimana memaknai hikmah diantara dua rahsa itu. Kemudian bagaimana
juga menetapinya, rahsa yang bagaimanakah yang bersumber dari daya Allah.
Semua akan diajarkan satu persatu.
Begitu dahsyatnya pengajaran itu, hingga sangat terasa di badan. Sebagaimana
halnya sampai-sampai pada dada Rosululloh ketika sholat seperti
ber-gemuruh, saking dahsyatnya, hingga terdengar oleh orang di belakangnya.
Maka ketika kita diajarkan rahsa ini, sungguh kita harus istikomah dalam
keyakinan kepada Allah.
Gemuruh di dada dan bagaimana
sensasinya begitu luar biasa, benar-benar akan melumpuhkan dirinya. Bagai
gelombang tsunami yang akan melemparkan apa saja. Bagai radiasi yang akan
meluluh lantakkan apa saja yang terpapar. Semua menimpa raganya. Maka
bagi manusia hanya ada satu jalan, hanya kembali kepada Allah. Tidak ada jalan
kembali. Apakah dia akan menjadi kafir setelah beriman ?. Itulah taruhannya.
Jika dia berbalik, sungguh siksaan Allah amatlah pedih.
Kemudian manusia juga akan diajari
bagaimana membedakan sensasi bagaimana jika kita takut kepada Allah dan
bagaimana juga ketika kita takut kepada selainAllah. Demikian juga untuk rahsa
cinta. Bagaimana sensasi rahsa ketika kita cinta kepada Allah dan ketika kita
mencintai selain Allah.
Dengan mengenali sensasi rahsa ini
(dzauq), manusia akan mengenali daya(kasyaf) yang menimbulkan sensasi
tersebut. Karena hakekatnya rahsa hanyalah sebuah efek atas bekerjanya sebuah
daya saja. (Lihat Kajian Sebelumnya perihal DAYA ini).
Sebuah rahsa panas yang dirimbulkan
oleh alat pemanas, atau bohlam lampu misalnya, akan terasa bedanya jika daya
listrik yang menghidupkannya berasal dari daya PLN ataukah bersumber dari
daya sebuah battery. Jika dari PLN akan lebih konstan namun jika
dari baterry dayanya semakin lama akan meredup sehingga nyalanya (panasnya)
akan tak beraturan.
Sensasi ini terasa nyata dan akan
beda sekali bagi yang mampu merasakannya. Inilah perumpamaannya. Begitulah cara
mengenali sebuah daya. Apakah daya dari Allah ataukah daya dari selain Allah.
Kita mengenali dari sensasi rahsanya (dzauk).
Kemudian setelah kita mengenalinya,
maka kita akan mendapatkan referensi atas rahsa yang dimaksudkan. Allah akan
memberikan contoh rahsanya yang benar (hal). Bagaimana rahsa yang
sungguh-sungguh benar.
Kita akan memiliki keyakinan yang
kuat tentang kebenaran yang dimaksudkan-NYA. Tanpa rekayasa apapun. Betul-betul
seperti di tarok saja. Setelahnya, kemudian manusia harus mengupayakan dirinya
agar menempati makom tersebut, berdasarkan referensi yang sudah didapatkannya
itu.
Inilah perjuangan yang terus
menerus, hingga manusia mampu mencapai makom yang dimaksudkan. Begitus
seterusnya sehingga tercapailah kearifan puncak. Menjadi manusia yang
(menjadi) rahmat semesta alam.
Penutup
Maka keadaannya, hanya dengan
mengucapkan ‘Bismilahi rohmani rohiem’ saja, ahli kitab tersebut sudah
mampu memindahkan singgasana Ratu Bilkis. Sesuai permintaan Nabi Sulaiman.
Begitulah yang diberitakan Al qur an. Sebab karena orang tersebut sudah mampu
mengkondisikin dirinya dalam (suasana) hal dimana dan bagaimana keadaan suasana
itu, saat (ketika) waktu sama dengan nol (t=0). Bagaimana
sensasinya, dimensinya, dan bagaimana juga keadaannya dia sudah tahu dan sudah
menjadi realitas bagi dirinya. Maka ketika orang tersebut sudah memiliki
referensi sebagaimana hal ketika waktu sama dengan nol, (realitas keadaan
tersebut) maka dia dengan mudahnya (masuk) berada dalam kondisi tersebut.
Ketika dia sudah dalam kondisi
tersebut, (sama halnya) bagi dirinya waktu sudah sama dengan nol (t=0) maka
selanjutnya mudah saja bagi dirinya berada dimana saja, dan berbuat apa saja,
karena bagi dirinya segala sesuatu sudah tidak berjarak dan tidak bermassa
lagi. (Lihat Kajian Misteri Sang Waktu). Maka sesungguhnya dia akan mampu
melakukan segala sesuatu dengan sangat mudahnya, seperti mengkedipkan mata
saja. Melakukan semua itu sebagai kewajaran, sebagaimana matahari yang
selalu terbit, melakukan dengan kerendahan hati. Sebuah kearifan puncak
manusia. Begitulah hakekat Ilmu Laduni.
Begitulah (rahasia) kebesaran hikmah
atas kita-kitab Allah, bagi orang yang mengetahui. Inilah pemahaman saya, maka
kembalinya kepada sidang pembaca memaknainya. Selamat Mencoba. Wolohualam.
Sumber : Arif Budi Utama Kompas
Catatan : silahkan yang mau mengamalkan lakukan dengan baik
dan benar.
No comments:
Post a Comment